Powered by Blogger.

Dec 20, 2008

Shalat Tahiyatul Masjid

Oleh
Syaikh Abdullah bin Abdurrahman bin Shalih Ali Bassam

"Artinya : Dari Abu Qatadah Al-Harits bin Rab'y Al-Anshary Radhiyallahu anhu, dia berkata, 'Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda : 'Jika salah seorang di antara kalian masuk masjid, maka janganlah duduk sebelum shalat dua raka'at".[1]

MAKNA HADITS

Sulaik Al-Ghathafany masuk masjid Nabawi ketika Jum'at, saat Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam menyampaikan khutbah, lalu dia langsung duduk. Beliau menyuruhnya bediri dan shalat dua rakaat. Kemudian beliau menyatakan bahwa masjid-masjid itu memiliki kesucian dan kehormatan, bahwa ia memiliki hak tahiyat atas orang yang memasukinya. Caranya, dia tidak langsung duduk sebelum shalat dua rakaat.

Karena itulah beliau tidak memberi kesempatan, termasuk pula terhadap orang yang duduk itu untuk mendengarkan khutbah belaiu.


PERBEDAAN PENDAPAT DI KALANGAN ULAMA

Para ulama sering berbeda pendapat tentang pembolehan mengerjakan shalat-shalat yang memiliki sebab-sebab seperti shalat Tahiyatul Masjid, gerhana, jenazah dan qadha' shalat yang ketinggalan pada waktu-waktu larangan shalat.

Madzhab Hanafi, Maliki dan Hambali melarangnya, yang didasarkan kepada hadits-hadits pelarangannya, seperti hadits, "Tidak ada shalat sesudah Subuh hingga matahari terbit dan tidak ada shalat sesudah Ashar hingga matahari terbenam". Begitu pula hadits, "Tiga waktu, Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam melarang kami shalat di dalamnya".

Sedangkan As-Syafi'i dan segolongan ulama membolehkannya tanpa hukum makruh. Ini juga merupakan salah satu riwayat dari Al-Imam Ahmad serta merupakan pilihan pendapat Ibnu Taimiyah. Mereka berhujjah dalam hadits dalam bab ini dan lain-lainnya yang semisal seperti hadits, 'Barangsiapa tidur hingga ketinggalan mengerjakan witir atau lupa, hendaklah mengerjakannya selagi mengingatnya'. Begitu pula hadits, 'Sesungguhnya matahari dan rembulan merupakan dua tanda dari tanda-tanda kekuasaan Allah. Jika kalian melihatnya, maka dirikanlah shalat'.

Masing-masing di antara dalil-dalil kedua belah pihak bersifat umum dari satu sisi dan bersifat khusus dari sisi yang lain. Hanya saja pembolehan shalat-shalat yang memiliki sebab-sebab pada waktu-waktu ini merupakan pengamalan terhadap semua dalil-dalil, sehingga masing-masing di antara dalil-dalil itu dapat ditakwili sedemikian rupa. Disamping itu, pembolehan tersebut bisa memperbanyak ibadah yang memiliki sandaran kepada syarat.

Perbedaan pendapat ini sudah pernah disinggung dalam hadits Ibnu Abbas (nomor 52). Namun kami ingin memberi tambahan kejelasan yang diambilkan dari perkataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, yang menyebutkan bahwa dia tidak berkomentar terhadap shalat-shalat yang memiliki sebab-sebab yang didasarkan kepada beberapa dalil yang kemudian diajdikan hujjah oleh orang-orang yang melarangnya. Tapi setelah diteliti lebih lanjut bahwa dalil-dalil itu ada yang dhaif atau tidak mengarah, seperti sabda beliau. 'Jika salah seorang diantara kalian masuk masjid, janganlah dia duduk sehingga shalat dua rakaat'. Sabda beliau ini bersifat umum dan tidak ada kekhususan di dalamnya, karena itu merupakan hujjah menurut kesepakat salaf.

Telah disebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam menyuruh orang yang masuk masjid mengerjakan shalat Tahiyatul Masjid, ketika beliau sedang berkhutbah. Adapun hadits Ibnu Umar, 'Janganlah kalian mendekatkan shalat kalian dengan terbit dan terbenamnya matahari'. Hal ini berlaku untuk shalat tatawu' secara tak terbatas. Telah disebutkan pembolehan shalat-shalat yang memiliki sebab berdasarkan nash, seperti dua rakaat thawaf. Sebagian lagi dengan nash dan ijma', seperti shalat jenazah setelah Ashar. Jika dilihat dari sisi pembolehan, maka tidak ada alasan kecuali keberadaan shalat itu yang memiliki sebab. Syariat telah menetapkan bahwa shalat dikerjakan sebisanya, ketika ada kekhawatiran akan habis waktunya, jika memungkinkan pelaksanaannya setelah waktunya dengan cara yang sempurna, begitu pula shalat-shalat tathawu' yang memiliki sebab.

KESIMPULAN HADITS

[1]. Pensyariatan Tahiyatul Masjid bagi orang yang memasukinya. Shalat ini wajib menurut golongan Zhahiriyah karena berdasarkan kepada zhahir hadits. Menurut pendapat jumhur, shalat ini sunat.
[2]. Shalat ini disyariatkan bagi orang yang memasuki masjid kapanpun waktunya, meskipun pada waktu larangan shalat, karena keumuman hadits. Telah disebutkan dibagian atas pendapat lain tentang hal ini.
[3]. Sunat wudhu bagi orang yang memasuki masjid, agar dia tidak ketinggalan mengerjakan shalat yang diperintahkan ini.
[4]. Para ulama membatasi Masjidil Haram, bahwa tahiyatnya adalah thawaf. Tapi bagi orang yang tidak berniat thawaf atau dia kesulitan mengerjakannya, maka tidak seharusnya dia meninggalkan shalat ini, yang berarti dia shalat dua rakaat

[Disalin dari kitab Taisirul-Allam Syarh Umdatul Ahkam, Edisi Indonesia Syarah Hadits Pilihan Bukhari Muslim, Pengarang Syaikh Abdullah bin Abdurrahman bin Shalih Ali Bassam, Penerbit Darul Fallah]
_________
Foote Note
[1]. Di bab ini pengarang menyebutkan beberapa jenis amal shalat. Kami melihat ada baiknya jika kami memuat satu bab tersendiri dari jenis-jenis itu untuk menjelaskan maksudnya dan mengisyaratkan makna yang dikehendaki. Karena itu kami mendahulukan hadits Anas yang sujud di atas kain selimut karena udara panas, agar berdampingan dengan hadits Abu Hurairah, “Jika panas menyengat, maka dinginkan shalat dan seterusnya, karena ada kesesuaian antara keduanya. Sementara pengarang memisahkan antara keduanya dengan menyebutkan dua hadits yang tidak sesuai dengan keduanya.

BAGAIMANA HUKUM SHALAT TAHIYATUL MASJID DAN SHALAT SUNNAH YANG DILAKUKAN SEBELUM SHALAT MAGHRIB


Oleh
Syaikh Abdul Aziz bin Abdulah bin Baz



Pertanyaan

Syaikh Abdul Aziz bin Abdulah bin Baz ditanya : Bagaimana hukum shalat tahiyatul masjid setelah adzan maghrib sebelum shalat –sedangkan waktu antara adzan dan iqamah sangat singkat bagaimana pula hukum shalat sunnah sebelum maghrib selain tahiyatul masjid?

Jawabannya.

Tahiyatul masjid adalah sunnah mu’akkadah untuk setiap waktu, bahkan pada waktu yang dilarang (bagi shalat yang lain) sekalipun, demikian menurut pendapat ulama yang paling shahih, karena keumuman hadits Nabi.

“Jika salah seorang di antara kalian masuk masjid maka janganlah duduk hingga shalat dua raka’at terlebih dahulu” [Muttafaq Alaihi]

Shalat sunnah antara adzan dan iqamah maghrib hukumnya juga sunnah, karena sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

“Shalatlah sebelum maghrib…shalatlah sebelum maghrib”, kemudian beliau berkata yang ketiga : “Bagi siapa yang menghendaki”[HR Al-Bukhari]

Para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam jika adzan maghrib telah dikumandangkan mereka bersegera untuk shalat dua raka’at sebelum iqamah, ketika itu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat mereka dan beliau tidak melarangnya, bahkan memerintahkan seperti hadits yang disebutkan sebelumnya.

[Disalin dari kitab Al-Fatawa Juz Awwal, Edisi Indonesia Fatawa bin Baaz, Penulis Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, Penerjemah Abu Umar Abdillah, Penerbit At-Tibyan – Solo]

0 comments:

Blog Archive


Bacaan Duduk Antara 2 Sujud

Bacaan Duduk Antara 2 Sujud
Related Posts with Thumbnails

Blogger 1

Blogger 2

Sabda Nabi s.a.w yangbermaksud, "Sesungguhnya
dalam syurga terdapat sebuah pintu yang dikenali dengan nama
Rayyan, dimana memasuki
daripadanya orang‐orang yang berpuasa pada hari kiamat dan yang lain tidak berhak. Dikatakan mana orang yang berpuasa? Lantas mereka bangun dan masuk melaluinya. Apabila selesai ditutup dan tiada yang lain berhak memasukinya."

Apabila engkau berada di waktu petang, maka janganlah engkau menunggu (ketibaan) waktu pagi dan

apabila engkau berada di waktu pagi, maka janganlah engkau menunggu (ketibaan) waktu petang.

Ambillah peluang dari kesihatanmu untuk masa sakitmu dan masa hidupmu untuk matimu.

  © Blogger templates The Professional Template by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP