Powered by Blogger.

May 21, 2010

The Battle Of Khandaq (Bagian 3)

(Kisah Perjuangan Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam Dan Para Shahabatnya Dalam Mempertahankan Kota Madinah)
Oleh. Rahman Hakim
Mahasiswa Fakultas Dakwah Dan Ushuludin, UIM


Berkaitan dengan hal di atas, Sa’d bin Muadz terkena tembakan panah lawan, sehingga urat lengannya putus. Pemanahnya adalah seorang laki-laki dari Quraisy yang dikenal dengan nama Hiban bin Al-Irqah. Maka Sa’d pun berdoa, “Ya Allah, sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui bahwa tidak ada yang paling aku cintai melainkan memerangi kaum yang telah mendustakan Rasul-Mu dan mengusirnya dari kampung halamannya. Ya Allah, aku berharap Engkau berkenan menghentikan perang antara kami dan mereka. Jika perang ini masih terus akan berlangsung, panjangkanlah umurku sehingga aku berkesempatan berperang melawan mereka. Namun, jika engkau telah berkenan menghentikan perang ini, maka wafatkanlah aku di dalam perang ini.” Lalu ia berkata di akhir doanya, “Janganlah Engkau matikan aku sebelum aku merasa senang bisa memerangi Bani Quraizhah” (Al-Mubarakfuri, 2005).

Aksi Sabotase Yahudi Berikutnya
Ditengah berkecamuknya pertempuran antara pasukan kaum Muslimin dan Musyrikin, ular-ular Yahudi kembali melancarkan serangan berbisanya ke tubuh kaum Muslimin. Mereka hendak mengacaukan barisan pertahanan kota Madinah dengan cara menghasut Bani Quraizhah agar mau membelot dari pakta pertahanan yang telah mereka sepakati sebelumnya dengan Rasulullah, dan bersedia ikut bersama-sama pasukan gabungan kaum Musyrikin memerangi beliau.

Maka berangkatlah salah satu dedengkot provokator Bani Nadhir, Huyay bin Akhtab, ke perkampungan yang dihuni oleh Bani Quraizhah, untuk meyakinkan mereka agar mau masuk ke dalam barisan koalisi. Si Huyay mendatangi rumah Ka’ab bin Asad al-Quradhi, seorang pemuka Bani Nadhir, yang mempunyai wewenang dalam mengadakan kesepakatan dan perjanjian bagi mereka. Sebelumnya, antara pihak Bani Nadhir dengan Rasulullah telah terjadi perjanjian, untuk saling membantu apabila ada musuh yang menyerang salah satu pihak dari keduanya. Si Huyay pun mengetuk pintu rumah Ka’ab. Di luar dugaan, ternyata si Ka’ab justru menutupnya kembali. Karena terus menerus didesak, akhirnya Ka’ab pun membuka pintu untuknya. Lantas si Huyaypun berkata, “Wahai Ka’ab, aku mendatangimu dengan membawa kejayaan dunia dan lautan luas, aku memberimu kabar tentang kedatangan suku Quraisy bersama para pemimpinnya, sekarang mereka semua bermarkas di berkas aliran air di bukit Rumat. Begitu juga suku Ghatafan bersama para pemimpinnya, berkumpul di ujung Naqma dan sisi gunung Uhud. Mereka semua telah berjanji dan bersepakat denganku, untuk tidak meninggalkan tempat mereka, sampai mereka bisa menghancurkan Muhammad beserta para pengikutnya.”

Namun Ka’ab meragukan tawaran itu seraya menukas, “Demi Allah, engkau datang kepadaku membawa kehinaan seumur hidup dan awan kering. Engkau datang dengan kilatan yang menggelegar, namun tidak berisi apa-apa. Celakalah engkau wahai Huyay! Biarkan aku tetap seperti kondisi sekarang, karena sesungguhnya aku melihat kejujuran dan kesetiaan pada diri Muhammad.”

Namun Huyay terus saja membujuknya, hingga akhirnya Ka’ab luluh dan menerima ajakan si Huyay untuk membelot dari kesepakatan yang dibuatnya dengan Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam, dan ikut serta memerangi Rasulullah, dengan syarat Huyay mau berjanji setia kepadanya dengan nama Allah. “Seandainya suku Quraisy dan Ghathafan pulang tanpa berhasil mencapai tujuan mereka menghabisi Muhammad, maka bawalah aku masuk kedalam benteng pertahananmu, sehingga apa yang menimpamu menimpaku juga,” begitu ucap Ka'ab. Dengan demikian Ka’ab bin Asad, sesepuh Bani Quraizhah, melanggar janjinya, dan terlepaslah semua kesepakatannya dengan kaum Muslimin. Selanjutnya ia menjadi sekutu orang-orang Musyrik dalam memerangi kaum Muslimin (Al-Mubarakfuri, 2005).

Intelijen dan peperangan
Dalam setiap peperangan, baik di zaman dahulu hingga zaman yang serba canggih seperti sekarang ini, operasi intelijen selalu dilibatkan dalam mendukung kesuksesan sebuah pertempuran. Salah satu tujuan operasi intelijen adalah membaca kekuatan dan pergerakan pasukan lawan. Sehingga apabila kekuatan lawan sudah terbaca, tinggal mangambil tindakan antisipasi yang tepat untuk menghadapinya. Diantara cara yang dipakai untuk mendapatkan informasi berharga ini, dilakukan dengan cara menyusupkan mata-mata atau agen rahasia langsung ke dalam pihak musuh. Umumnya agen yang disusupkan ini sudah sangat terlatih sedemikan rupa hingga tidak ada seorangpun dari pihak lawan yang mengetahui identitasnya yang sebenarnya. Ketika pertempuran berkecamuk di antara dua pihak yang saling berperang, informasi intelijen sangat ditunggu oleh setiap komandan pasukan perang masing-masing, sebelum akhirnya membuat keputusan, apa tindakan yang akan dilakukan selanjutnya. Rupanya prinsip intelijen ini, sudah di terapkan jauh-jauh sebelum badan intelijen modern yang kita kenal sekarang ini dibentuk.

Ketika Shafiyah binti Abdul Muthalib berada di atas benteng Hassan bin Tsabit, sementara itu Hassan sedang berada di dalam bersama kaum wanita dan anak-anak, tiba-tiba terlihat seorang Yahudi sedang mengitari benteng mereka. Rupanya Bani Quraizhah telah memutuskan perjanjian yang telah disepakati antara mereka dan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, dan hendak memerangi kaum Muslimin. Sementara itu, tidak ada yang menjaga para wanita dan anak-anak itu, karena Rasulullah dan kaum Muslimin sedang sibuk menghalau musuh di sisi lain dari Madinah. Sehingga apabila ada musuh yang menyerang dari arah tempat Shafiyyah berlindung, pasukan Muslimin tidak dapat menolong mereka. Melihat gelagat tidak beres itu, Shafiyyah lantas melaporkannya kepada Hassan bin Tsabit, “Wahai Hassan, orang Yahudi itu sedang mengawasi benteng kita seperti yang engkau lihat. Demi Allah, aku khawatir jika dia memberitahukan kelemahan kita kepada orang-orang Yahudi di belakang kita. Sementara Rasulullah dan kaum Muslimin tidak bisa menolong kita jika ada yang menyerang, oleh karan itu turunlah wahai Hassan dan bunuhlah ia”. Namun Hassan justru menjawab, “Demi Allah, engkau tahu bahwa aku tidak bisa melakukannya.” Akhirnya, karena Hassan tidak sanggup untuk membunuhnya, maka bibi Rasulullah itu mengambil tindakan yang cukup heroik dan berani turun tangan mengatasi masalah ini. Ia lantas mengencangkan ikat pinggang, kemudian mengambil potongan tiang, lalu turun dari benteng dan menuju posisi mata-mata Yahudi itu berada. Si Yahudi yang tidak menyadari apa yang akan dilakukan oleh seorang wanita yang mendekatinya itu, akhirnya tewas, setelah Shafiyyah datang dan ‘menghadiahi’ intel Yahudi itu beberapa pukulan yang menyebabkannya meregang nyawa (Ibnu Hisyam, 2007).

Aksi luar biasa yang dilakukan oleh bibi Rasulullah itu benar-benar memberikan pengaruh yang sangat besar bagi keselamatan kaum wanita dan anak-anak, serta pertahanan kota Madinah. Mengetahui mata-mata mereka tidak kembali, alias tewas, para Yahudi itu menyangka bahwa benteng-benteng kaum Muslimin itu selalu dalam penjagaan. Padahal, realitanya tidak terjaga sama sekali. Pada akhirnya, mereka tidak berani mengirimkan mata-mata untuk yang ke dua kalinya, karena khawatir akan bernasib sama dengan yang pertama itu. Bahkan untuk mengerahkan pasukan dari sisi itupun mereka tidak berani, karena menyangka pos itu selalu dijaga ketat oleh pasukan Muslimin. Di sisi lain, Shafiyyah, bibi Rasulullah itu juga telah memainkan pola intelijen modern yang dimainkan oleh dunia intelijen saat ini. Ketika diketahui ada mata-mata yang masuk dan berusaha melakukan Spionase, maka tindakan yang harus segera diambil adalah menyingkirkannya dengan cara apapun, termasuk membunuhnya.

Panglima Perang Yang Tangguh
Akhirnya berita tentang pengkhianatan itupun sampai ke telinga Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan kaum Muslimin. Namun, beliau tidak terburu-buru untuk mengambil tindakan. Beliau menunggu sampai betul-betul tahu persis informasi yang sebenarnya, agar tidak mengambil keputusan yang salah. Untuk itu, Rasulullah mengutus mata-matanya yang bertugas mengecek kevalidan informasi ini seraya berpesan, “Berangkatlah sehingga kalian bisa mengetahui apakah benar berita yang sampai kepada kita tentang (pengkhiantan) kaum Yahudi itu atau tidak. Jika benar, berilah aku isyarat saja. Sehingga aku bisa mengetahui dan jangan disebarkan ke semua orang. Karena hal itu akan mematahkan semangat mereka. Namun, jika mereka tetap menepati kesepakatan bersama, maka sebarkanlah berita itu kepada semua orang.” Ketika Sahabat yang mendapat tugas spionase ini mendekati perkampungan Bani Quraizhah, mereka mendapati orang-orang Yahudi itu dalam keadaan sangat buruk sekali. Di mana mereka dengan terang-terangan mencaci Nabi shallallahu alaihi wa sallam, dan menunjukkan sikap permusuhan. “Siapa itu Rasulullah? Tidak ada perjanjian antara kami dan Muhammad,” begitu kira-kira perkataan yang keluar dari mulut mereka saat itu, yang berhasil didengar oleh mata-mata Rasulullah. Segera, para shahabat itu kembali dan melaporkan hal ini kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam.

Meskipun Nabi dan sebagian kaum Muslimin berusaha menyembunyikan kenyataan yang sebenarnya itu, tetapi akhirnya diketahui juga oleh semua orang. Karena hal itu terlihat sangat jelas, maka tampaklah di hadapan mereka sebuah bencana yang sangat menakutkan (Al-Mubarakfuri, 2005).

Kisah ini, merupakan kondisi tersulit yang pernah dialami kaum Muslimin saat itu. Karena tidak ada lagi penghalang antara mereka dan Bani Quraizhah; apabila Bani Quraizhah itu ingin menyerang dari belakang. Sementara di hadapan mereka ada pasukan raksasa yang belum berhasil mereka usir dari sekitar parit. Daripada itu, tempat persembunyian anak-anak dan istri kaum Muslimin sangat dekat sekali dengan perkampungan Bani Quraizhah, yang telah berkhianat itu, tanpa adanya penjagaan dan perlindungan yang memadai. “Betul-betul kondisi yang teramat sulit,” begitulah komentar salah seorang sejarawan Islam asal Mesir, Muhammad bin Afifi al-Bajuri atau yang lebih dikenal dengan Syekh Khudhori bek, dalam bukunya “Nurul Yaqin fi Siroti Sayyidil Mursalin” (Dar Ibnu Hazm, 2000).

Kondisi mereka kala itu persis seperti yang digambarkan Allah dalam Surat Al-Ahzab ayat 10-11, yang artinya: “Yaitu ketika mereka datang kepada kalian dari atas atau dari bawah kalian, dan ketika tidak tetap lagi penglihatan (kalian) dan hati kalian naik menyesak sampai ke tenggorokan dan kalian menyangka terhadap Allah dengan berbagai prasangka, di situlah diuji orang-orang Mukmin dan diguncangkan hatinya dengan goncangan yang sangat.”

Pada saat itu juga, tampaklah sifat-sifat kemunafikan dari sebagian orang munafik. “Muhammad telah menjanjikan kepada kita, bahwa kita akan memperoleh kekayaan dari istana Kisra (raja Persia) dan Qaishar (kaisar Romawi). Sementara hari ini, tidak ada seorang pun yang merasa aman meskipun sekadar untuk pergi membuang hajatnya,” demikian ujar mereka dengan penuh waswas. Disamping itu juga ada seorang yang berkata di depan kaumnya, “Rumah kami akan menjadi sasaran musuh, maka izinkanlah kami untuk pulang ke kampung halaman kami, karena kampung halaman kami berada di luar Madinah”. Sampai-sampai Bani Salamah sudah merasa gagal terlebih dahulu. Saat itulah Allah menurunkan ayat kepada mereka;

“Dan ingatlah ketika orang-orang munafik dan orang-orang berpenyakit dalam hatinya berkata, ‘Allah dan RasulNya tidak menjanjikan kepada kami melainkan tipu daya,’ dan ingatlah ketika segolongan di antara mereka berkata, ‘Hai penduduk Yatsrib (Madinah), tidak ada tempat bagi kalian, maka kembalilah kalian,’ Dan sebagian dari mereka meminta izin kepada Nabi (untuk pulang) dengan berkata, ‘sesungguhnya rumah-rumah kami terbuka (tidak ada penjaga).’ Dan rumah-rumah itu sekali-kali tidak terbuka, mereka tidak lain hanyalah hendak lari” (QS. Al-Ahzab: 12-13).

Sedangkan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam ketika mendengar berita pengkhianatan Bani Quraizhah itu, menyempatkan diri untuk berbaring dan berdiam cukup lama. Sehingga kondisi yang dialami kaum Muslimin itu semakin menjadi-jadi. Lalu beliau bangkit seraya memotivasi, “Allahu Akbar, wahai kaum Muslimin, optimislah kalian dengan kemenangan dan pertolongan Allah.” Kemudian beliau merancang strategi yang bisa mengeluarkan mereka dari kondisi yang sangat pelik ini. Yakni dengan mengutus beberapa penjaga ke dalam kota Madinah, sehingga anak-anak dan para wanita tidak tertimpa suatu serangan secara tiba-tiba. Namun, untuk itu dibutuhkan keberanian yang teguh untuk sanggup memecah-belah pasukan lawan. Dan untuk mewujudkan target itu, beliau harus berdamai dengan dua orang pemimpin Bani Ghathafan, yaitu Uyainah bin Hisn dan Harits bin Auf. Dengan memberi keduanya sepertiga buah-buahan dari kota Madinah, agar mereka berdua mau pulang membawa pasukannya meninggalkan arena pertempuran. Sehingga kaum Muslimin bisa berkonsentrasi untuk memberikan kekalahan telak kepada kaum Quraisy yang tak henti-hentinya selalu menguji kekuatan dan ketangguhan kaum Muslimin.

0 comments:

Blog Archive


Bacaan Duduk Antara 2 Sujud

Bacaan Duduk Antara 2 Sujud
Related Posts with Thumbnails

Blogger 1

Blogger 2

Sabda Nabi s.a.w yangbermaksud, "Sesungguhnya
dalam syurga terdapat sebuah pintu yang dikenali dengan nama
Rayyan, dimana memasuki
daripadanya orang‐orang yang berpuasa pada hari kiamat dan yang lain tidak berhak. Dikatakan mana orang yang berpuasa? Lantas mereka bangun dan masuk melaluinya. Apabila selesai ditutup dan tiada yang lain berhak memasukinya."

Apabila engkau berada di waktu petang, maka janganlah engkau menunggu (ketibaan) waktu pagi dan

apabila engkau berada di waktu pagi, maka janganlah engkau menunggu (ketibaan) waktu petang.

Ambillah peluang dari kesihatanmu untuk masa sakitmu dan masa hidupmu untuk matimu.

  © Blogger templates The Professional Template by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP